BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekurangan
vitamin A (KVA) merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. KVA terutama sekali mempengaruhi anak kecil,
diantara mereka yang mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan
dapat berakhir menjadi kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh
yang lemah, eksaserbasi infeksi serta meningkatkan resiko kematian. Hal ini
menjadi nyata bahwa KVA dapat terus berlangsung mulai usia sekolah dan remaja
hingga masuk ke usia dewasa. (Keith dan West, 2008)
Meskipun
konsekuensi kesehatan dari KVA tidak digambarkan dengan baik di atas anak usia
dini, namun data terakhir menunjukkan bahwa KVA pada wanita usia reproduksi
dapat meningkatkan resiko kesakitan dan kematian selama kehamilan dan periode awal postpartum. KVA yang berat pada
maternal juga memberikan kerugian bagi anak baru lahir karena dapat akibatkan
peningkatan kematian dibulan pertama kehidupan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya
pemahaman tentang KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan yang dihasilkan
dikuantifikasi setepat mungkin,
sebagai dasar tindakan dan pemantauan serta evaluasi program pencegahan selanjutnya. Kemajuan telah dilakukan selama 4 dekade terakhir dalam memperkirakan beban KVA,
terutama dengan menggabungkan dan mengekstrapolasikan data prevalensi dari negara dimana telah dikumpulkan
dalam populasi dengan profil demografis yang sama dan risiko yang telah diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan mempengaruhi antara 75 dan 254 juta
anak prasekolah setiap tahun,
jauh dari jarak yang akurat. Tidak ada perkiraan
permasalahan kesehatan global KVA
ibu atau adanya insidensi tahunan kebutaan malam ibu (XN).
( Arlappa, 2012; Keith dan West, 2008)
KVA pada anak
biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau Gizi
buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro
dalam hal ini vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah sekali terserang infeksi
seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi
lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah KVA dapat juga
terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini terjadi karena
kurangnya pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi yang baik. Gangguan
penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang
terjadi. Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak
menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan, dimana keluarga tidak
mampu memberikan makan yang cukup. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia
masih membutuhkan perhatian yang serius. Oleh karena itu dirasakan perlunya Program
penanggulangan masalah KVA bertujuan untuk menurunkan prevalensi KVA terutama
ditujukan kepada kelompok sasaran rentan yaitu balita dan wwanita yang berada
pada usia reproduksi. Program ini sejalan dengan Vision 2020 The Right to Sight yang bertujuan untuk menurunkan
masalah kebutaan di Indonesia.( Heijthuijsen,
et al ,2013)
1.2. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah, penulis ingin menyajikan makalah mengenai Kekurangan
Vitamin A (KVA) yang meliputi pengertian, penyebab, faktor resiko, hingga pada terapi
dan program pencegahan Kekurangan Vitamin A (KVA) di Indonesia.
1.3.
Tujuan Penulisan
Yang
menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui gambaran
umum mengenai KVA (Kurang Vitamin A) beserta program – program yang dapat
dilakukan dalam upaya pencegahan masalah KVA ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin A
2.1.1. Pengertian Vitamin A
Vitamin A
merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak atau minyak dan merupakan
vitamin yang esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup.
Vitamin A stabil terhadap panas, asam dan alkali tetapi sangat mudah
teroksidasi oleh udara dan akan rusak pada suhu tinggi. (Olson dan Mello,2011)
Vitamin A
merupakan komponen penting dari retina (selaput jala), maka fungsi utama adalah
untuk penglihatan. Disamping itu vitamin A juga membantu pertumbuhan dan
mempunyai peranan penting dalam jaringan epitel. (Marsetyo & Karta Sapoetra,
2003)
2.1.2. Indikator Status Vitamin A
2.1.2.1. Indikator Saat Ini
Indikator
biologis, fungsional dan histologis status vitamin A meliputi xerophthalmia, rabun
senja, sitologi konjunctiva serta tes adaptasi gelap (adaptometry) (Tabel 1). Saat ini, buta
senja selama kehamilan dan tes adaptasi
gelap telah diusulkan
sebagai metode
penilaian populasi
oleh IVACG pada tahun 2001. Sementara tes tanda dan fungsi mata
masih digunakan pada daerah dimana terjadi kekurangan vitamin A yang berat, kekurangan vitamin A subklinis lebih sering
terjadi. Conjunctival
impression
cytology (CIC) telah
digunakan pada penelitian namun tampak memberikan pengaruh yang negative pada negara
kering Afrika. Peralatan yang penting untuk melakukan CIC tidaklah mahal. Singkatnya, lingkaran kecil kertas
saring dengan cepat menyentuh
ke permukaan mata menggunakan perangkat pompa manual
untuk dalam posisi memegang kertas. Kertas saring kemudian ditempatkan dalam fiksasi
dan kemudian diwarnai untuk membedakan sel goblet dari sel endotel. Sel-sel goblet
dihitung di bawah mikroskop dan mata diklasifikasikan sebagai normal atau abnormal berdasarkan jumlah sel goblet.
Dalam pengalaman kami dengan anak-anak Indonesia,
banyak yang
hanya memiliki satu mata yang
abnormal, yang berkorelasi dengan indikator status vitamin A yang lebih sensitif lainnya
hasilnya menjadi normal.
(Tanumihardjo,2011)
Metode
pemeriksaan biokimia yang tersedia termasuk serum retinol dan konsentrasi
retinol dalam air ASI, respon
terhadap dosis relatif dan
tes respon terhadap dosis relative
yang dimodifikasi serta tes
deuterated
retinol isotope dilution (Tabel 2). (Tanumihardjo,2011)
Konsentrasi
retinol serum telah digunakan secara luas untuk mengidentifikasi populasi yang
berisiko terhadap KVA. Kelemahan
utama dari serum retinol
adalah sampel darah yang diperlukan. Selain itu, pada orang sehat, konsentrasi serum retinol
yang secara homeostatik dikontrol dan tidak mulai
menurun sampai cadangan vitamin A
di hati yang
sangat rendah. Selanjutnya, protein pengikat retinol (RBP) adalah negatif protein fase
akut, sehingga serum retinol
dan konsentrasi RBP akan turun selama masa infeksi. Karena tingginya
tingkat infeksi pada anak-anak
yang
beresiko KVA dan
mekanisme homeostatis, serum retinol tidak
selalu merespon strategi
intervensi vitamin A. Status nutrisi lainnya, khususnya kekurangan zat besi,
mungkin juga berpengaruh
negatif terhadap konsentrasi serum retinol. Kekurangan zat besi juga dapat menurunkan penggerakan
vitamin A dari penyimpanan hati. Konsentrasi retinol ASI juga telah diajukan sebagai ukuran status vitamin A
pada populasi. Pengumpulan ASI kurang invasif dan
biasanya lebih mudah daripada menggambar
darah.
Sampel ASI tidak perlu diproses lebih lanjut di Field Station, sehingga
mempersingkat waktu persiapan sampel. Sementara indikator yang unik untuk ibu menyusui, status ibu
biasanya dapat menjadi prediksi perawatan bayi. Oleh karena itu, jika perempuan menyusui dari masyarakat
yang memiliki status vitamin A marginal,
kemungkinan besar bahwa anak - anak pada masyarakat tersebut juga berisiko mengalami
KVA. Kami telah menyederhanakan uji ASI dengan menggunakan 3,4-didehydroretinyl
asetat sebagai standar internal. Meskipun efisiensi ekstraksi (atau tingkat saponifikasi) yang diperoleh adalah 23-89% dengan memvariasikan masa saponifikasi, CV
metode ini hanya 4,1
dan 1,8% untuk masing
– maisng 250 dan 500 L
sampel ASI.
Selama 2 dekade terakhir, metode lain untuk menentukan status vitamin A telah
dikembangkan bahwa yang lebih
mencerminkan cadangan vitamin A
di hati merupakan standar emas. (Tanumihardjo et al, 2007)
Tes relative
dose response (RDR), yang meliputi memberikan dosis rendah retinyl ester dan
mengambil sampel darah 0 dan 5 jam
setelah dosis dan menghitung peningkatan dalam persen telah digunakan dalam
beberapa penelitian. Tes RDR berdasarkan prinsip bahwa selama kurangnya vitamin
A apo-RBP terakumulasi di hati. Dengan memberikan sebuah
tantangan dosis retinil ester, yang akan
mengikat retinol dengan kelebihan RBP dan dikirim
keluar ke serum sebagai holo-RBP-retinol kompleks.
Modifikasi dari metode ini dibuat dengan menggunakan 3,4-didehydroretinyl
acetate sebagai dosis tantangan dan selanjutnya disebut modified relative dose
response (MRDR) tes. Karena konsentrasi sirkulasi 3,4-didehydoretinol sangat
rendah didalam plasma manusia, sampel darah tunggal adalah
semua yang diperlukan 4 sampai 6 jam setelah dosis dan
rasio 3,4-didehydoretinol ke
retinol dihitung. Pada anak-anak Amerika yang sehat dan orang dewasa dari keluarga berpendapatan menengah hingga tinggi, nilai-nilai
MRDR ( rasio
dehydroretinol terhadap retinol pada
5 jam pasca dosis)
selalu ditemukan 0,04 (Tanumihardjo
dan Olson,2006).
Tes MRDR telah
digunakan secara luas diseluruh dunia untuk mendiagnosa status subklinis
vitamin A. penelitian di Indonesia telah menunjukkan perbedaan yang signifikan
antara kelompok anak – anak yang tinggal secara harfiah berbeda satu sama lain. Status rendah vitamin A pada wanita
hamil dan menyusui di negara sedang berkembang telah menunjukkan besarnya
presentase nilai MRDR abnormal. (Tanumihardjo et al,2007)
2.1.2.2 Indikator Di Masa Depan
Metode yang
dalam pengembangan meliputi DBS retinol determinasi,
konsentrasi protein pengikat retinol dan
retinol binding protein untuk rasio transthyretin (RBP: TTR), retinoyl-glukuronida (RAG) uji
hidrolisis dan C-retinol isotop uji
dilusi 13 menggunakan
gas
kromatografi-pembakaran-rasio isotop spektrometri massa (GCCIRMS) deteksi (Tabel
2).( Craft,2009)
Sumber :
Tanumihardjo,2008
2.1.3. Manfaat Vitamin A
a. Penglihatan
Vitamin A
berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari cahaya
terang diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya, maka
kecepatan mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung
dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda pertama kekurangan vitamin
A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A dapat memperbaiki penglihatan yang
kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin A.(Melenotte
et al.,2012)
b. Pertumbuhan
dan Perkembangan
Vitamin A
dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam
pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan
bentuk tulang tidak normal. Pada anak – anak yang kekurangan vitamin A, terjadi
kegagalan dalam pertumbuhannya. Dimana
vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat. (Tansuğ
N, et al. 2010)
c. Reproduksi
Pembentukan
sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan perkembangan janin
dalam kandungan membutuhkan vitamin A
dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan status vitamin A rendah mampu
hamil akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam melahirkan.
Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan
kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan kandung kemih.(Knutson dan
Dame,2011)
d. Fungsi
Kekebalan
Vitamin A
berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana kekurangan
vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada limfosit yang
berperan sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier,2008).
e. Perkembangan
Jantung
Defek kardiak dan cabang aorta
diamati sebagai bagian dari sindroma kekurangan vitamin A. singkat kata,
peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia meliputi pembentukan pipa pola
jantung dan lingkaran, ruang dan katup
saluran keluar, trabekulasi ventrikel, diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh koroner. (Knutson dan
Dame,2011)
f. Perkembangan
Ginjal dan Saluran Kencing
Kekurangan vitamin A pada kehamilan dapat berkorelasi
dengan kekurangan jumlah nefron sub-klinis dan sedikit defisit nefron
yang tidak disadari pada saat lahir,
tapi mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal ginjal dan hipertensi. (Knutson dan Dame,2011)
g. Diafragma
Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai
pembatas antara rongga dada dan
perut. Hernia diafragma kongenital
(CDH) terjadi pada sekitar satu dari 3000 kelahiran, dan berhubungan dengan
kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A sangat penting bagi perkembangan
diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa
gangguan sinyal retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari gangguan manusia. (Knutson dan
Dame,2011)
h. Paru dan
Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara
Defek Respirasi
termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis
esophagotracheal septum digambarkan dai lam sindroma KVA awal namun
dikarakteristikkan sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru berkembang dari
foregut endoderm selama perekembangan awal embrio. RA dari
mesoderm splanchnic di sekitar endoderm foregut
telah penting ditemukan untuk pembentukan tunas paru primordial. Sebuah laporan terbaru di New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan
defisiensi vitamin A (retinol),
anak-anak yang ibunya menerima suplementasi vitamin A sebelum, selama,
dan selama 6 bulan setelah kehamilan memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik ketika mereka diuji pada 9 sampai 11 tahun daripada
anak-anak yang ibunya menerima
suplemen beta karoten atau
plasebo. Selain itu, mereka menemukan
bahwa periode di mana suplementasi
dengan vitamin A yang paling
penting adalah dari kehamilan
usia postnatal dari
6 bulan. (Knutson dan
Dame,2011)
2.1.4. Sumber Vitamin A
Pada umumnya kecukupan Vitamin A pada orang dewasa didapat dari makanan
yang di konsumsi setiap hari. Demikian juga bagi anak anak selain didapat dari
makanan juga dari suplemen Vitamin A. sedangkan bagi bayi yang berumur kurang
dari 6 bulan kebutuhan Vitamin A diperoleh dari Air Susu Ibu (Sugiarno. 2010).
ASI tetap menjadi sumber yang penting dari vitamin A dan karoten (zat gizi yang
banyak terdapat secara alami dalam buah-buahan dan sayur-sayuran). Karoten
dapat membantu sistem kekebalan tubuh. Hati, telur, dan keju merupakan
sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat dalam beta-karoten
serta karotenoid lainnya. Tubuh manusia dapat mensintesa vitamin A dari karoten
atau pro vitamin A yang terdapat di sayuran dan buah-buahan yang berwarna,
seperti wortel, tomat, apel, semangka, dan sebagainya. (Dinkes Jateng, 2007)
Kadar Vitamin A dalam air susu sangat dipengaruhi oleh jumlah dan jenis
makanan yang dikonsumsi selama menyusui. Untuk itu bagi ibu nifas dianjurkan
banyak mengkonsumsi sayuran terumata yang banyak mengandung Vitamin A. (Sugiarno. 2010)
Vitamin A sangat penting bagi kesehatan kulit,
kelenjar, serta fungsi mata. Sekalipun pada waktu lahir bayi memiliki simpanan
vitamin A, Vitamin A adalah salah satu zat gizi esensial yang tidak bisa
diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. Untuk memperolehnya harus diambil dari sumber
diluar tubuh terutama dari sumber alam, seperti bahan sereal, umbi,
biji-bijian, sayuran, buah-buahan, hewani dan bahan-bahan olahan lainnya.(Desi
& Dwi, 2009)
2.1.5. Kebutuhan Vitamin A
Kebutuhan
vitamin A yang dianjurkan untuk anak balita 250 mikrogram retinol (vitamin A)
atau 750 mikrogram beta-karotin sehari (Kardjati dan Alisjahbana, 2005).
Sedangkan kebutuhan wanita menyusui berumur 19 tahun keatas dianjurkan
mengkonsumsi 1.300 mikrogram vitamin A per hari. Vitamin A atau aseroftol
mempunyai fungsi-fungsi penting di dalam tubuh yaitu (Kartasapoetra dan
Marsetyo, 2003) :
a.
Pertumbuhan sel-sel epitel;
b.
Proses oksidasi dalam tubuh;
c.
Mengatur rangsang sinar pada saraf mata.
Pemenuhan
kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan kelangsungan hidup secara
normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang Indonesia telah dibahas dan
ditetapkan dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi (2007) dengan
mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang Indonesia.
(Widyakarya Nasional, 2007)
Tabel 1. Daftar Kecukupan Vitamin A
Sumber: Almatsier, 2003
2.1.6. Klasifikasi KVA
Kekurangan
vitamin A merupakan masalah nutrisi kesehatan masyarakat di negara berkembang.
Berdasarkan World Health Organization (WHO), konsentrasi serum retinol
diklasifikasikan menjadi ;
a.
Normal
Apabila konsentrasi serum
retinol ≥0.70 μmol/L
b.
Marginal
Apabila konsentrasi serum
retinol 0.35-0.70 μmol/L
c. Deficient
Apabila konsentrasi serum
retinol <0.35 μmol/L
Kesehatan
masyarakat mengenai derajad beratnya KVA dikategorikan dalam mild, moderate, dan severe. Dikatakan mild jika prevalensi dari anak –anak usia pra
sekolah atau ibu hamil dengan konsentrasi plasma serum 2-10%, moderate jika
prevalensi konsentrasi plasma serum 10-20%, dan severe apabila prevalensi
konsentrasi plasma serum ≥20%.
WHO
membagi cakupan KVA kedalam dua kelompok utama yaitu: Xerophthalmia dan rabun
senja sebagai masalah kesehatan yang serius pada negara yang termasuk kelompok pertama,
seperti diantaranya negara di Afrika dan Asia Tenggara. Pada negara yang
termasuk kedalam kelompok kedua, tanda klinis KVA jarang terdeteksi namun
marginal KVA sekitar 10-30% dari populasinya dan direkomendasikan monitoring status
vitamin A secara berkelanjutan. The Pan-American Health Organization (PAHO) memutuskan
bahwa KVA sebagai masalah kesehatan masyarakat ketika 15% atau lebih populasi
menunjukkan konsentrasi plasma serum of 0.70 μmol/L. diantara wanita, dua batas
konsentrasi retinol digunakan untuk estimasi KVA apabila 0.70 μmol/L dan untuk
status deficient vitamin A jika 1.05
μmol/L. Konsentrasi retinol pada ASI
kurang dari 1.05 μmol/L merupakan KVA pada ibu menyusui. Prevalensi <10%,
≤10 to <25%, ≥25% dari retinol ASI 1.05
μmol/L mengindikasikan KVA golongan mild, moderate dan severe pada masalah
kesehatan masyarakat. (Tansuğ
N, et al. 2010)
2.1.7. Tanda dan Gejala Kekurangan Vitamin A
Kekurangan
vitamin A sering terjadi pada anak balita. Gangguan pada mata dapat terjadi
dalam beberapa tahap, tergantung berat ringannya defisiensi vitamin A,
terganggunya kemampuan untuk beradaptasi dan melihat dalam kondisi gelap,
xerophthalmia, hingga akhirnya mengalami kebutaan dapat terjadi. Kornea mata
terpengaruh secara dini oleh kekurangan vitamin A. kelenjar air mata tidak
mampu mengeluarkan air mata sehingga terjadi pengeringan pada selaput yang
menutupi kornea dengan tanda pemburaman. Pelapisan sel epitel kornea yang
akhirnya berakibat melunaknya dan bisa pecah yang menyebabkan kebutaan total.
Beberapa tanda dan gejala lain jika kekurangan vitamin A adalah kelelahan yang
sangat, anemia, kulit menjadi kering, gatal dan kasar. Pada rambut dapat
terjadi kekeringan dan gangguan pertumbuhan rambut dan kuku. (Almatsier, 2008)
Gejala dini dari akibat kekurangan Vitamin A adalah buta senja
(niktatopia). Penderita buta senja tidak dapat melihat dalam keadaan gelap. Apabila gejala buta senja ini tidak dapat ditanggulangi maka akan
muncul gejala lebih lanjut yaitu Konjungtiva serosis (pengeringan selaput
bening yang menutupi bagian depan bola mata). Dapat pula terjadi kelainan dalam
bentuk lain yaitu adanya bercak pada bola mata (disebut bercak bitot). Bercak
bitot merupakan bintik-bintik warna kelabu terang dan berbusa yang terdapat di
konjungtiva mata. Meskipun diakui sebagai manifestasi kekurangan Vitamin A akan
tetapi kekurangan Vitamin A menyebabkan timbulnya bercak bitot. Tanda klinis
selanjutnya adalah pengeringan pada kornea mata (kornea serosis). Gejala
kekurangan Vitamin A yang paling serius, kornea mata menjadi keruh, kering dan
melunak. Gangguan penglihatan yang dapat
terjadi tergantung bersarnya kerusakan pada kornea mata. Pengobatan segera
dapat dan tuntas dapat mengembalikan fungsi kornea mata, akan tetapi pengobatan
yang terlambat dapat menyebabkan kebutaan total. Keseluruhan gejala yang
terjadi pada mata akibat kekurangan Vitamin A secara umum disebut Xerophtalmia.
(Sugiarno.
2010)
2.1.8. Masalah
– Masalah Yang Berhubungan Dengan Vitamin A
1. Kelebihan Vitamin A
Hipervitaminosis Vitamin A adalah suatu kondisi
dimana kadar vitamin A dalam darah atau jaringan tubuh sangat tinggi sehingga
menyebabkan timbulnya gejala-gejala yang tidak diinginkan. Hipervitaminosis
Vitamin A ada 2 ( dua ) macam, yaitu :
a. Hipervitaminosis Akut yang disebabkan karena pemberian dosis tunggal
Vitamin A yang sangat tinggi, atau pemberian berulang dosis tunggal yang lebih
kecil tetapi masih termasuk dosis besar karena dikonsumsi dalam periode 1-2
hari. Pengobatannya adalah dengan menghentikan suplementasi Vitamin A dan
pengobatan simptomatis.
b. Hipervitaminosis Kronis yang disebabkan karena mengkonsumsi Vitamin A
dosis tinggi yang berulang-ulang dalam jangka waktu beberapa bulan atau
beberapa tahun. Keadaan ini biasanya hanya terjadi pada orang dewasa yang
mengatur pengobatannya sendiri. Pengobatannya adalah dengan menghentikan
suplementasi Vitamin A dan pengobatan simptomatis.
Jika seseorang mengkonsumsi Vitamin A dosis
tinggi yang melebihi 200.000 SI, maka
sebagaian besar dari Vitamin A yang berlebihan tersebut dalam bentuk yang tidak
berubah akan dikeluarkan melalui air seni dan tinja dan selebihnya disimpan
dalam hati. (Sugiarno,
2010)
2. Kekurangan Vitamin A
Gejala dini dari akibat kekurangan Vitamin A adalah buta senja
(niktatopia). Penderita buta senja tidak dapat melihat dalam keadaan gelap.
Apabila gejala buta senja ini
tidak dapat ditanggulangi maka akan muncul gejala lebih lanjut yaitu
Konjungtiva serosis (pengeringan selaput bening yang menutupi bagian depan bola
mata). Dapat pula terjadi kelainan dalam bentuk lain yaitu adanya bercak pada
bola mata (disebut bercak bitot). Bercak bitot merupakan bintik-bintik warna
kelabu terang dan berbusa yang terdapat di konjungtifa mata. Meskipun diakui
sebagai manifestasi kekurangan Vitamin A akan tetapi kekurangan Vitamin A
menyebabkan timbulnya bercak bitot. Tanda klinis selanjutnya adalah pengeringan
pada kornea mata (kornea serosis). Gejala kekurangan Vitamin A yang paling
serius, kornea mata menjadi keruh, kering dan melunak. Gangguan penglihatan
yang dapat terjadi
tergantung bersarnya kerusakan pada kornea mata. Pengobatan segera dapat dan
tuntas dapat mengembalikan fungsi kornea mata, akan tetapi pengobatan yang
terlambat dapat menyebabkan kebutaan total. Keseluruhan gejala yang terjadi
pada mata akibat kekurangan Vitamin A secara umum disebut Xerophtalmia.
Defisiensi vitamin A pada orang dewasa juga akan berakibat pada
terjadinya kasus campak yang berat. Namun
orang dewasa yang kekurangan vitamin A namun tidak terinfesi campak
dapat beresiko tinggi terhadap banyak penyakit berat apabila mereka terinfeksi
virus.( Sugiarno, 2010 dan Melenotte et al,2012)
3. Dampak Kekurangan Vitamin A Bagi Anak
Dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara
lain :
a.
Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).
b.
Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan
dan kaki terganggu, sehingga kulit tangan dan kaki bersisik.
c.
Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan
paru-paru.
d.
Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan
kusam (Xerosis konjungtiva), bercak seperti busa pada bagian putih mata (bercak
bitot), bagian kornea kering dan kusam (Xerosis kornea), sebagian hitam mata
melunak ( Keratomalasia ), Seluruh kornea mata melunak seperti bubur (Ulserasi
Kornea) dan Bola mata mengecil / mengempis (Xeroftahalmia Scars).
e.
Terhentinya proses pertumbuhan.
f.
Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
g.
mengakibatkan
campak yang berat yang berkaitan dengan adanya komplikasi pada anak-anak serta
menghambat penyembuhan. (Melenotte et al,2012)
Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin A
yang terlalu tinggi dalam waktu yang
lama dapat menimbulkan akibat yang kurang baik antara lain :
a.
Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat
menimbulkan anak tersebut cengeng, pada sekitar tulang yang panjang membengkak,
kulit kering dan gatal-gatal.
b.
Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan
sakit kepala, mual-mual dan diare. (Sugiarno. 2010)
2.1.9.
Pencegahan dan Pengobatan KVA
Vitamin A adalah
salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh
yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk
kesehatan tubuh (meni ngkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya
campak, diare, dan penyakit infeksi lain) (Depkes RI, 2009)
Pada ibu hamil
dan menyusui, vitamin A berperan penting untuk memelihara kesehatan ibu selama
masa kehamilan dan menyusui. Buta senja pada ibu menyusui, suatu kondisi yang
kerap terjadi karena kurang vitamin A (KVA). Berhubungan erat pada kejadian
anemia pada ibu, kekurangan berat badan, kurang gizi, meningkatnya resiko
infeksi dan penyakit reproduksi, serta menurunkan kelangsungan hidup ibu hingga
dua tahun setelah melahirkan (Dinkes Jateng, 2007)
Semua anak,
walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di
Negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya
(hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di Negara
berkembang, pada bulan-bulan pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada
vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah penting bahwa ASI
mengandung cukup vitamin A. Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI
akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan dengan anak-anak
yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu tertentu. Berbagai studi
yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang
berbeda-beda.
Anak-anak usia
enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan,
menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak tersebut
dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA. Ibu hamil dan
menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena pada masa
tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan
produksi ASI.
Upaya
meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses Komunikasi
Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari bahwa
penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan
konsumsi kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu
penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi.
- Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
- Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.
- Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI (Depkes RI, 2009).
d.
Wanita hamil : suplemen vitamin A
tidak direkomendasikan selama kehamilan sebagai bagian dari antenatal care
rutin untuk mencegah maternal and infant morbidity dan mortality. Namun, pada
daerah dimana terdapat masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan
dengan kekurangan vitamin A, maka suplementasi
vitamin A direkomendasikan untuk mencegah rabun senja. Secara khusus,
wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap harinya atau
vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat dilanjutkan hingga
12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini perlu ditekankan bahwa
WHO mengidentifikasi populasi berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita
rabun senja ≥5% pada wanita hamil atau
≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59 bulan.( McGuire,
2012)
e.
Ibu nifas: suplementasi vitamin
A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan untuk mencegah morbiditas dan
mortalitas pada ibu dan bayi. ( McGuire
S. 2012)
Kekurangan makan
makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat orang menjadi kurus juga
kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan vitamin A. penyakit usus yang
menahun akan mengakibatkan penyerapan vitamin A dari usus terganggu. Untuk
melakukan pengobatan harus berobat pada dokter dan biasanya dokter akan
memberikan suntikan vitamin A setiap hari sampai gejalanya hilang. Untuk
mencegah kekurangan vitamin A makanlah pepaya, wortel dan sayur-sayuran yang
berwarna ( Hassan, 2008).
Program nasional
pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting untuk mencegah kekurangan
vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan Program ini adalah untuk
mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak di seluruh wilayah Indonesia
dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari dan Agustus, kapsul vitamin A
didistribusikan secara gratis kepada semua anak yang mengunjungi Posyandu dan
Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul tersebut cukup untuk membantu
melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa penyakit yang pada gilirannya akan
membantu menyelamatkan penglihatan dan kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
Pemberian
vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu sampai dua minggu.
Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan maka berikan vitamin A
200.000 IU peroral dan pada hari kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan maka
diberikan obat yang sama pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan
proteinkalori mal nutrisi dengan menambah vitamin A, sehingga perlu diberikan
perbaikan gizi.
Pencegahan dan
pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari brosur suplementasi vitamin A
kapsul yang terdiri dari :
a.
Kapsul
vitamin A berwarna biru (100.000 IU)
Tiap kapsul
mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg (setara dengan vitamin A
100.000 IU) dengan dosis
1) Pencegahan bayi umur 6 bulan – 11 bulan : 1
kapsul
2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi
buruk dan infeksi lainnya diberi 1 kapsul.
- Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A 200.000 IU) dengan dosis :
1).
Pencegahan bayi umur 1 tahun – 3 tahun : 1 kapsul
2).
Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3).
Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan infeksi lainnya diberi 1 kapsul ( Puspitorini, 2007).
2.1.10. Jadwal
Pemberian Dosis Vitamin A
Anak-anak yang
mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi untuk mengalami kebutaan
sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena alasan ini vitamin A dosis
tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak yang mengalami gizi kurang
pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama telah diberikan pada bulan yang
lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut: 50.000 IU untuk bayi berusia <
6 bulan, 100.000 IU untuk bayi berumur 6
- 12 bulan , dan 200.000 IU untuk
anak berusia > 12 bulan. Jika
terdapat tanda klinis dari defisiensi vitamin A (seperti rabun senja, xerosis
konjungtiva dengan bitot’s spot, xerosis kornea atau ulceration, atau
ketomalasia), maka dosis yang tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti
dosis ketiga sekurang-kurangnya 2 minggu kemudian (Maryam, 2010).
2.1.11. Efek
Samping dari Penggunaan Vitamin A
Pemberian
vitamin A dengan dosis yang terlalu tinggi dan terjadi dalam waktu yang lama
dapat menjadi toksin (racun) bagi tubuh. Hipervitaminosis A banyak dijumpai
pada anak-anak dengan tanda-tanda cengeng, bengkak disekitar tulang-tulang yang
panjang, kulit kering dan gatal. Hipervitaminosis A dapat terjadi dalam 2
tingkat :
a.
Hipervitaminosis
A akut, yaitu jika anak usia 1 tahun – 5
tahun mengkonsumsi lebih tinggi (300.000 IU) dosis tunggal, mungkin akan
menderita mual, sakit kepala dan anoreksia (tidak nafsu makan). Penonjolan
ubun-ubun juga dapat terjadi pada balita < 1 tahun dan akan hilang dalam
waktu 1 hari – 2 hari.
1)
Terjadi
akibat pemberian dosis tunggal vitamin A yang sangat besar atau pemberian
berulang dosis tunggal yang lebih kecil tetapi masih termasukdosis besar karena
di konsumsi dalam periode 1 hari – 2 hari.
2)
Pengobatannya
dilakukan dengan cara pemberian vitamin A dan pengobatan simptomatis.
b.
Hipervitaminosis
A kronis, yaitu jika bayi dan balita mengkonsumsi > 25.000 IU tiap hari
selama > 3 bulan atau beberapa tahun baik yang berasal dari makanan maupun
dari pemberian vitamin A dosis tinggi.
Biasanya hanya terjadi pada orang dewasa.
1)
Pada
anak usia muda dan bayi biasanya dapat menyebabkan anoreksia, kulit kering,
gatal-gatal serta kemerahan di kulit, peningkatan intracranial, bibir
pecah-pecah, tungkai dan lengan lemah dan bengkak.
2)
Pengobatannya
sama dengan hipervitaminosis A akut. (Depkes,2008)
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Adapun
kesimpulan dari serangkaian penulisan makalah di atas adalah sebagai berikut:
1.
Vitamin
A merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak atau minyak dan merupakan
vitamin yang esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup.
2.
Vitamin
A stabil terhadap panas, asam dan alkali tetapi sangat mudah teroksidasi oleh
udara dan akan rusak pada suhu tinggi.
3.
Program
penanggulangan masalah KVA bertujuan untuk menurunkan prevalensi KVA terutama
ditujukan kepada kelompok sasaran rentan yaitu balita.
4.
Kesehatan
masyarakat mengenai derajad beratnya KVA dikategorikan dalam mild, moderate, dan severe.
5.
Hipervitaminosis Vitamin A adalah kadar vitamin A dalam darah sangat tinggi sehingga menyebabkan timbulnya
gejala-gejala yang tidak diinginkan.
6.
Vitamin A yang berlebihan tersebut dalam bentuk
yang tidak berubah akan dikeluarkan melalui air seni dan tinja dan selebihnya
disimpan dalam hati.
7.
Dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara
lain yaitu hemarolopia atau rabun senja, frinoderma, pendarahan pada selaput
usus, ginjal dan paru-paru, xerosis konjungtiva, bercak bitot, xerosis kornea,
keratomalasia, ulserasi kornea, xeroftahalmia scars, terhentinya proses
pertumbuhan, serta terganggunya pertumbuhan pada bayi.
- Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
- Pemberian kapsul vitamin A dilaksanakan dengan cara terjadwal, kunjungan rumah atau pada kejadian tertentu.
3.2.Saran
- Perlu adanya penyuluhan secara berkala mengenai pentingnya asupan vitamin A yang cukup agar terhindar dari penyakit – penyakit tertentu seperti xeroptalmia
- Perlu adanya kerja sama dengan kelompok PKK di lingkungan sekitar puskesmas dalam usaha fortifikasi vitamin A dalam menu makanan keluarga sehari – hari
- Diharapkan tenaga kesehatan agar dapat lebih pro aktif dalam melakukan home visit terhadap klien yang tidak datang saat penyuluhan mengenai pentingnya vitamin A ini berlangsung.