Jumat, 05 Oktober 2012

Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD)




I.       Kasus Nyata
Suatu hari seorang dokter jaga IGD di sebuah Rumah Sakit swasta kedatangan seorang pasien dengan  keluhan pada kepalanya mengucur darah segar setelah ia terjatuh dari sepedanya. Saat datang pertama kali seluruh tubuhnya penuh dengan darah dan pada kepalanya dibebat dengan menggunakan kain sarung. Setelah ditanya oleh perawat yang bertugas sebagai admin di IGD, diperoleh informasi dari keluarga pasien bahwa ia tidak memiliki kartu jaminan kesehatan seperti Askes, Jamsostek maupun kartu asuransi lainnya. Sementara ia mengaku memang tidak mampu sama sekali untuk membayar biaya rumah sakit. Rumah sakit menolak untuk mengadakan pemeriksaan atau pengobatan lebih lanjut, pasien diberi saran untuk di bawa ke Rumah Sakit Umum pemerintah yang letaknya sekitar 15 menit dari RS swasta tersebut. Dengan pertimbangan karena jika kasus tersebut tetap diselesaikan di RS swasta maka biaya yang dibebankan kepada pasien akan sangat tinggi karena pasien tersebut tergolong dalam pasien umum tanpa asuransi kesehatan. Namun jika pasien tersebut dibawa ke RS pemerintah maka tidak akan dikenakan biaya pengobatan karena telah dijamin pembiayaannya oleh pemerintah.
II.    Analisis
Kejadian tersebut merupakan suatu kejadian tidak diharapkan pada pasien karena pihak rumah sakit (dokter dan perawat) tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), dan karena pihak rumah sakit tidak memahami Undang-Undang/ peraturan yang berlaku (UU No. 23 Tahun 1994 Tentang Kesehatan; UU Praktik Kedokteran UU nomor 29 tahun 2004 pasal 51 yang menyatakan bahwa dokter harus melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan; Peraturan tentang Kewajiban Medis dan Hak Pasien menurut UU 44/2009 ‘’Setiap pasien mempunyai hak  memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi’’; Peraturan tentang Kegawatdaruratan versi UU 36/2009 Pasal 190(1) “Dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat yang bisa mengakibatkan kecacatan atau kematian,” dan lain sebagainya). Kesalahan tersebut bisa terjadi dalam tahap diagnostik seperti tidak merespon ciri simtoma suatu penyakit; tahap preventif seperti tidak segera memberikan terapi / pertolongan pertama; atau pada hal teknis yang lain seperti kegagalan memahami hak dasar manusia atau sistem yang lain.

III. Indikasi Etik
Seharusnya Dokter tidak boleh menolak pasien apalagi dengan kondisi kegawatdaruratan. Sesuai dengan sumpah Hipokrates yang beberapa poin isinya mengatakan “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan dan dalam menunaikan kewajiban terhadap penderita; Saya berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan Keagamaan, Kebangsaan, Kesukuan, Politik Kepartaian atau Kedudukan Sosial” seharusnya ia dengan kesadaran diri dapat melakukan tindakan perawatan terhadap pasien tersebut tanpa melihat apakah pasien tersebut dari golongan mampu ataupun tidak mampu secara sosial dan finansial. Dalam kasus ini, baik dokter maupun perawat memiliki kewajiban yang sama dalam menyelamatkan nyawa pasien terlebih dahulu bukannya menanyakan tentang ada atau tidak adanya asuransi kesehatan lalu menolak untuk melakukan tindakan medis ketika si pasien tidak memiliki dana untuk pembayaran pengobatan. Setelah kondisi gawat darurat yang dialami pasien telah tertangani dengan baik dan kondisi pasien stabil barulah perawat dapat mendiskusikan kepada keluarga pasien tentang proses administrasi selanjutnya.
 Semestinya hal ini juga didukung oleh manajemen RS tersebut dalam upaya membantu pasien-pasien yang tak memiliki jaminan kesehatan dan dari golongan ekonomi tidak mampu untuk diberikan pelayanan khusus yang gratis yang biayanya diambil dari dana tabungan sosial / amal. Jadi bukannya pihak manajemen RS menuntut dokter dan perawat untuk membayar ganti rugi bila dokter dan perawat membebaskan biaya pengobatan pada pasien yang miskin tersebut.
Mungkin sikap apatis dari manajemen RS terhadap kasus-kasus seperti ini juga tak luput dari andil keluarga pasien lainnya yang secara tidak langsung telah mencoreng kepercayaan manajemen RS terhadap keluarga pasien. Karena tak dapat dipungkiri sebelum kebijakan ini di tempuh pihak rumah sakit sering kali di tipu oleh keluarga pasien. Dimana ketika pasien telah selesai dilakukan penanganan dan kondisinya stabil, si keluarga pasien menolak menyelesaikan biaya administrasi dengan alasan mereka tidak memiliki uang, padahal sesungguhnya mereka dari keluarga yang cukup berada. Akhirnya, dengan adanya oknum-oknum keluarga yang seperti ini berimbas pada keluarga pasien lainnya yang memang benar-benar tidak mampu karena kini manajemen di rumah sakit telah berubah menjadi mengutamakan masalah administrasi terlebih dahulu daripada pelayanan. Ironis memang, namun permasalahan ini harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan baik itu dari sisi pasien, tenaga medis (dokter dan perawat) maupun pihak manajemen RS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berkomentar dengan bijaksana dan menggunakan hati nurani serta tanpa mengandung unsur SARA,Sex dan Politik