BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui
selama berabad-abad namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena
tidak adanya definisi tunggal kondisi ini. Ketika masih sedikit
pemeriksaan jantung yang tersedia, definisi gagal jantung cenderung ke
arah patofisiologi, lalu kemudian definisi ditempatkan pada penekanan
pada gaga jantung sebagai suatu diagnosis klinis. Sementara kondisi ini
memang merupakan suatu sindrom klinis, diagnosis dapat sulit ditegakkan
pada tahap dini karena karena relatif tidak ada gejala.
Sekitar 3-20 per 1000 orang pada populasi mengalami gagal jantung, dan
prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia ( 100 per 1000 orang
pada usia di atas 65 tahun), dan angka ini akan meningkat karena
peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark
miokard akut.
Infark miokard biasanya disebabkan oleh
trombus arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh ruptur plak
yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi
dan luasnya miokard infark tergantung pada arteri yang oklusi dan aliran
darah kolateral.
Infark miokard yang mengenai
endokardium sampai epikardium disebut infark transmural, namun bisa juga
hanya mengenai daerah subendokardial. Setelah 20 menit terjadinya
sumbatan, infark sudah dapat terjadi pada subendokardium, dan bila
berlanjut terus rata-rata dalam 4 jam telah terjadi infark transmural.
Hali ini kadang-kadang belum selesai karena daerah sekitar infark masih
dalam bahaya bila proses iskemia masih berlanjut.
Miokard
ventrikel kiri dan kanan dapat menghasilkan curah jantung antara 5 dan
20 L/men tergantung kondisi fisiologis, dan kontraksi tergantung pada
sel jantung yang sangat khusus yaitu miosit
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Gagal Jantung
Gagal
jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa darah
ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah
balik masih normal. Dengan perkataan lain, gagal jantung adalah
ketidak mampuan jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (forward failure),
atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian
jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-duanya.5
Angka
kematian akibat gagal jantung cukup tinggi terutama pada usia lebih dari
65 tahun. Selain itu, pasien gagal jantung secara otomatis akan
mendapatkan beban ekonomi yang makin tinggi seiring dengan akibat
hendaya (inability) kronik yang dialaminya. Gagal jantung sebenarnya
terdiri dari beberapa jenis seperti gagal jantung sistolik, gagal
jantung diastolik, akut, atau kronik. Jenis tersebut dahulu lebih banyak
dideteksi dengan menggunakan tes dengar, anamnesis dan pemeriksaan
fisik.Seiring waktu dengan makin tingginya teknologi, pemeriksaan gagal
jantung kini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu berteknologi
tinggi, seperti ecocardiograph, photo thorax, EKG, dan kateter Swan
Ganz, dan menilai profil klinis yakni kongesti dan perfusi yang disebut
metode wet and cold (nohria).
Pencegahan
Deteksi dini jenis gagal
jantung yang diderita pasien ini, menurut Daulat, berfungsi sebagai
dasar penentuan penatalaksanaan atau pengobatan penyakit jantung. Karena
masing-masing jenis harus ditangani dengan cara yang berbeda hingga
bisa lebih efektif hasilnya. Misalnya, untuk pengobatan atau
penatalaksanaan gagal jantung jenis akut yang tergolong mematikan, yang
paling efektif digunakan adalah dengan pemantauan hemodinamis. Selain
itu, kini penatalaksanaan gagal jantung akut dapat dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan kadar brain natriuretic peptide (BNP) darah yang
dibutuhkan pada pasien gagal jantung.
BNP merupakan hasil produksi
jaringan otot jantung yang bila ventrike kiri teregang, yang berefek
positif memperbaiki gangguan hemodinamik yang bisa mengakibatkan
vasodilator, meningkatkan diuresis, dan lainnya. Pada pasien gagal
jantung, kadar BNP ini masih terus diperlukan, meskipun levelnya sudah
normal. Karena itu, selain obat-obatan jenis inhibitor ACE, penyekat
beta, diuretik, dan lainnya, juga diperlukan jenis obat penunjang yang
mampu meningkatkan kadar BNP dalam tubuh. Jika obat-obatan sudah tidak
lagi efektif, maka pasien memerlukan alat bantu seperti IABP (intra
aortic balloon pump), biventricular pacing (RCT/resynchronization
cardiac therapy), ICD (implantable cardioverter device), atau kombinasi
RCT dan ICD (RCT-D).
Di beberapa negara maju, jika kondisi gagal
jantung makin memburuk, maka dilakukan articificial heart atau
ventricular assist device untuk membantu fungsi jantung sebelum
dilakukan tranplantasi jantung, dengan memperhatikan efektivitas biaya.
Upaya pencegahan gagal jantung akut ini sebenarnya sangatlah mudah. Yang
terpenting adalah menjaga pola hidup sehat. Selain itu, diperlukan
pemeriksaan medis secara rutin untuk mengetahui sejauh mana kondisi
kesehatan tubuh Anda. Selain itu, dia juga menyebutkan bahwa risiko
gagal jantung bisa turun sebanyak 25% dengan berhenti merokok, menjaga
kolesterol seimbang, dan minum aspirin sebesar 80 mg secara rutin.1,2
Sebagai
pompa jantung bekerja tidak hanya atas kemampuan sendiri, tetapi
bergantung pula pada berbagai faktor , sehingga ia dapat bekerja secara
optimal. Faktor- faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard,
denyut jantung (irama dan kecepatan / menit), beban awal ( preload) dan
beban akhir (afterload).6
2.2. Infark Miokard
Infark miokard merupakan nekrosis iskemik pada miokard akibat sumbatan akut pada arteri koroner.
Insidensi : Infark miokard sangat sering terjadi; 250.000 infark miokard (MI) per
tahun di Inggris ( satu kejadian tiap 2 menit); 100.000 kematian.
Patogenesis
: Infark miokard terjadi bila arteri koroner tersumbat, miokard yang
disuplai oleh arteri tersebut mengalami iskemik dan dalam beberapa jam
terjadi nekrosis; pemulihan aliran darah dengan cepat bisa mencegah
infark dan membatasi nekrosis. Penyebab yang amat sering adalah penyakit
jantung koroner ateromatosa, bila plak ateromatosa koroner ( tidak
selalu yang sangat mempersempit lumen arteri) mengalami erupsi atau
ruptur, terjadi penyebaran plak mendadak dan trombosis pada lumen
arteri koroner. Penyebab Infark Miokard yang lain jarang terjadi.
Pemantauan jangka panjang adanya Infark Miokard ditentukan terutama oleh
luasnya kerusakan ventrikel kiri, dan beratnya penyakit jantung koroner
yang mendasari. Sebagian besar kematian pasca infark miokard disebabkan
oleh gagal jantung, serangan jantung mendadak, atau infark miokard
lanjutan.5
Adapun manisfestasi klinis dari infark miokard adalah
nyeri dada serupa dengan angina tetapi lebih intensif dan menetap(lebih
dari 30 menit), tidak sepenuhnya menghilang dengan istirahat ataupun
pemberian nitrogliserin sering disertai nausea, berkeringat, dan sangat
menakutkan pasien. Pada pemeriksaan fisik didapatkan muka pucat,
takikardi, dan bunyi jantung III (bila disertai gagal jantung
kongestif). Distensi vena jugularis umumnya terdapat pada infark
ventrikel kanan.7
Jika aliran darah miokardium terganggu secara nyata
maka akan terjadi kematian (infark) pada miokardium. Infark miokardium
dapat berupa:
1. Infark subendokardial. Adalah infark yang tidak meliputi seluruh lapisan dinding jantung.
2.
Infark transmural. Adalah infark miokardium yang meliputi seluruh
ketebalan dinding ventrikel. Infark transmural lebih berat dibanding
infark subendokardial. Infark transmural selalu berasala dari adanya
peningkatan penyempitan atau oklusi total pembuluh arteri yang
memperdarahi area tersebut atau peningkatan tiba-tiba kebutuhan oksigen
miokardium pada arteri yang sebelumnya sangat stenostik. Sebagian besar
infark miokardium transmural bersifat tidak homogen; tidak seluruh otot
di area tersebut mati, tetapi masih terdapat pulau-pulau otot hidup
dalam beberapa ukuran dan jumlah.
Proses sebenarnya dari infark
miokard tidak sederhana. Dari percobaan dengan binatang; diketahui bahwa
sel otot jantung akan mati dalam waktu 20-60 menit setelah oklusi total
arteri koroner. Akan tetapi terdapat proses reperfusi yang segera
terjadi 3-4 menit pasca oklusi total arteri terutama pada perbatasan
daerah iskemik dan non-iskemik. Proses reperfusi ini menguntungkan oleh
karena segera mengurangi dan melokalisasi area infark, serta menurunkan
angka kematian. Di samping itu, reperfusi juga berdampak instabilitas
elektrik, edema, atau hemorrahage, yang justru memperburuk keadaan
secara umum.
Proses penyembuhan jaringan nekrotik dari area
miokardium akan menimbulkan jaringan parut. Sebagian besar jaringan
parut ini terdiri dari jaringan fibrotik dan sel-sel miokardium yang
viabel dalam komposisi berbeda-beda. Hal ini terbukti dari adanya
perubahan kontraktilitas area tersebut setelah dilakukan tindakan
revaskularisasi. Bila area jaringan parut hanya terdiri dari jaringan
ikat saja, maka daerah tersebut akan menipis, akinetik, dan
aneurismatik.
Faktor yang mempengaruhi infark miokardium: adanya
oklusi total atau subtotal, dan ada tidaknya peredaran kolateral ke
daerah iskemia. Sedangkan faktor yang mempengaruhi kematian (mortalitas)
pasca infark:
Luas dan beratnya infark.
Makin banyaknya sistem koroner yang terlibat (1/2/3 vessels)
Riwayat infark sebelumnya.
Terdapat
dua jenis faktor resiko bagi setiap orang untuk terkena AMI, yaitu
faktor resiko yang bisa dimodifikasi dan tidak bisa dimodifikasi:
A. Fakor resiko yang dapat dimodifikasi:
1)
Merokok. Peran rokok dalam penyakit jantung koroner ini antara lain:
menimbulkan aterosklerosis; peningkatan trombogenessis dan
vasokontriksi; peningkatan tekanan darah; pemicu aritmia jantung,
meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen.Merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari
bisa meningkatkan resiko 2-3 kali dibanding yang tidak merokok,
2)
Konsumsi Alkohol. Meskipun ada dasar teori mengenai efek protektif
alcohol dosis rendah hingga moderat, dimana ia bisa meningkatkan
trombolisis endogen, mengurangi adhesi platelet, dan meningkatkan kadar
HDL dalam sirkulasi, akan tetapi semuanya masih controversial.
3)
Hipertensi Sistemik. Ini menyebabkan meningkatnya after load yang secara
tidak langsung akan meninggikan beban kerja jantung. Kondisi seperti
ini akan memicu hipertropi ventrikel kiri sebagai kompensasi dari
meningkatnya after load yang pada akhirnya meningkatkan kebutuhan
oksigen jantung,
4) Penyakit Diabetes. Resiko terjadinya penyakit
jantung koroner pada pasien dengan DM sebesar 2- 4 lebih tinggi
dibandingkan orang biasa. Hal ini berkaitan dengan adanya abnormalitas
metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik, peningkatan
trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan
trombogenesis).
B. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi:
1) Usia. Resiko meningkat pada pria datas 45 tahun dan wanita diatas 55 tahun (umumnnya setelah menopause).
2)
Jenis Kelamin. Morbiditas akibat penyakit jantung koroner(PJK)pada
laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan, hal ini
berkaitan dengan estrogen endogen yang bersifat protective pada
perempuan. Hal ini terbukti insidensi PJK meningkat dengan cepat dan
akhirnya setara dengan laki-laki pada wanita setelah masa menopause,
3)
Riwayat Keluarga.Riwayat anggota keluarga sedarah yang mengalami PJK
sebelum usia 70 tahun merupakan factor resiko independent untuk
terjadinya PJK.4
Penyebab kematian pasca infark terutama oleh
karena gagal jantung akut atau sub-akut, yang seringkali diinduksi oleh
adanya aritmia ventrikel. Gagal jantung kronik merupakan penyebab
kematian lain dalam frekuensi yang jauh lebih sedikit yang terutama
disebabkan oleh luasnya jaringan parut pada jantung. Sekitar 20% pasien
CAD mengalami sudden death yang kemungkinan besar disebabkan oleh infark
akut yang diikuti oleh fibrilasi atau asistol.3
2.3. Total AV Blok
Total
AV blok merupakan keadaan darurat jantung yang membutuhkan penanganan
segera. Blok AV derajat III terjadi jika tidak ada impuls atrium yang
dihantarkan ke ventrikel berdenyut sendiri-sendiri (terdapat disosiasi
atrioventrikel). Atrium berdenyut teratur mengikuti impuls yang berasal
dari simpuls SA. Ventrikel juga berdenyut dengan teratur namun
frekuensinya jauh lebih lambat dibandingkan atrium ( 20-60 x/ menit).
Blok
biasanya berkembang dari blok derajat I dan II, tetapi total AV blok
dapat juga terjadi tanpa blok parsial sebelumnya atau interval PR yang
bisa normal segera setelah terjadi periode blok total. Letak blok total
sering diperkirakan dengan lebar kompleks QRS dan kecepatan ventrikel.
Jika terjadi distal dari His Bundle kompleks QRS biasanya melebar dan
kecepatan ventrikel biasanya > 50x/ menit.
Makna klinis dan
prognosis blok AV bergantung pada penyebabnya. Blok AV akibat
peningkatan rangsang vagus atau pada keracunan digitalis yang ditangani
dengan baik, mempunyai prognosis yang cukup baik. Namun bila ditemukan
perubahan mendadak dari irama sinus menjadi blok AV total (sindrom
Adam-Stokes), prognosisnya menjadi serius, karena dapat mendatangkan
kematian akibat henti jantung mendadak atau fibrilasi ventrikel.
Etiologi
total AV blok selain kongenital bisa juga didapat. Kelainan-kelainan
tersebut adalah : penyakit degeneratif sistem penghantaran (Lev's
disease, Lenegre' disease), iskemi atau infark miokard, kardiomiopati
dilatasi, keracunan obat karena digitalis, quinidin, fenotiazin, anti
depresi trisiklik, penyakit katup jantung khususnya stenosis aorta dan
insufisiensi aorta, kelainan miokard dan jaringan ikat (sarkodiosis,
skeloderma, amiloidosis, SLE, penyakit tiroid) pembedahan, hiperkalemia
dan diikuti anti aritmia, tumor jantung (baik primer maupun
sekunder),dan Chagas'disease.
Diagnosis total AV blok biasanya
ditegakkan dengan pemeriksaan EKG. Pada EKG dapat dijumpai frekuensi
gelombang P tidak sama dengan kompleks QRS, bentuk kompleks QRS dapat
normal (picu sekunder di AV junction) atau menyerupai bentuk denyut
ektopik ventrikel (picu sekunder pada dinding ventrikel). Gelombang P
sinus dan banyak , sementara kompleks QRS hanya ada beberapa. Adanya
disosiasi AV dimana tidak adanya hubungan gelombang P dan kompleks QRS.
Interval RR masih teratur. Irama atrial lebih cepat daripada irama
ventrikel, irama ventrikel biasanya sangat lambat > 45 x/menit (pada
yang kongenital 40-60x/menit). Pada kasus terlihat gambaran seperti
tersebut dengan VR 31 x/ menit.11
Gambar1. AV Blok derajat 3 / Total AV Blok (TAVB)
Keterangan:
a.
Gelombang P bisa 2 kali lebih banyak dari kompleks QRS.b. Gelombang
P dan kompleks QRS membentuk pola irama sendiri-sendiri.
Penatalaksanaan
total AV blok dilakukan dengan obat obatan dan pemasangan pacu jantung.
Obat-obatan yang diberikan berupa sulfas atropin 0,5 mg intravena
dengan dosis maksimal 2 mg merupakan obat pilihan, dan sebagai
alternatif adalah isoproterenol. Bila obat tidak menolong, dipasang alat
pacu jantung temporer. Biasanya jarang diperlukan alat pacu jantung
permanen. Sangat perlu diperhatikan kondisi hemodinamik pasien. American
Heart Association/ American College of Cardiology membagi indikasi
pemasangan pacu jantung ke dalam 3 kelas: kelas I,II,III. Yang dimaksud
kelas I adalah keadaan dimana pacu jantung harus dipasang, kelas II
keadaan dimana masih terdapat perbedaan mengenai kepentingannya, dan
kelas III keadaan dimana tidak diperlukan pacu jantung. Khusus untuk
indikasi kelas I pemasangan pacu jantung pada blok AV adalah sebagai
berikut:
1. AV blok derajat III pada setiap tingkatan anatomik yang dihubungkan dengan salah satu komplikasi berikut:
a. Bradikardia simtomatik.
b. Aritmia dan kondisi medis lain yang membutuhkan obat-obat yang menimbulkan bradikardia simtomatik.
c.
Periode asistol yang terekam > 3 detik atau setiap kecepatan yang
hilang < 40 denyut/menit pada pasien yang bebas dari gejala.
d. Setelah ablasi kateter AV junction.
e. Blok AV pasca operasi yang tidak diharapkan terjadi.
f.
Penyakit neuromuskular dengan blok AV seperti: distrofi miotonik
muskular, Kearns-Sayre syndrome, Erb's dystrophy dan atrofi muskular
peroneal.
2. Blok AV derajat II tidak memandang jenis atau
letak blok dengan bradikardia simtomatik. Pemasangan pacu jantung
sebagai sumber energi eksternal yang digunakan untuk menstimuli jantung
jika gangguan pembentukan impuls dan/ atau transmisi menimbulkan
bradiaritmia diharapkan dengan pacu jantung mengembalikan hemodinamik ke
tingkat normal atau mendekati nomal pada saat istirahat dan aktivitas.
Pemasangan pacu jantung temporer biasanya untuk memberikan stabilisasi
segera sebelum pemasangan pacu jantung permanen. Insersi biasanya
dilakukan transvena ke apeks ventrikel kanan. Sedang pacu jantung
permanen insersinya dilakukan melalui vena subklavia atau sefalika
dengan sadapan yang diletakkan dalam aurikula kanan untuk pemasangan
atrium dan apeks ventrikel kanan untuk pemasangan pacu jantung
ventrikel. Pada kasus ini mula-mula diberikan Alupent (isoproterenol) 2 x
10 mg kemudian diberikan injeksi sulfas atropin 0,5 mg-1 mg IV, total
0,04 mg/kgBB, namun tidak terjadi perbaikan sehingga pasien dipasang
alat pacu jantung temporer melalui vena femoralis kanan. Pada akhirnya
pasien harus membutuhkan pacu jantung permanen melalui vena subklavia
dengan keadaan hemodinamik pasien yang membaik.3
Komplikasi :
sinkope, tromboemboli bila disertai takikardia, gagal jantung.Prognosis :
tergantung penyebab, berat gejala, dan respon terapi.8
Kesimpulan :
Telah
dilaporkan satu kasus yang didiagnosis dengan EKG sebagai total AV
blok, menunjukkan perbaikan setelah dilakukan pemasangan pacu jantung
permanen.
Penanganan blok AV total ini sangat penting karena merupakan salah satu kedaruratan di bidang kardiologi.3
2.4. Hubungan Antara Gagal Jantung Dengan Infark Miokard
Gagal jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah infark miokardium.
Infark
miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan menurunnya
kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan
mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan
ventrikel kiri untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup
berkurang sehingga volume sisa ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan
peningkatan tekanan jantung sebelah kiri. Kenaikan tekanan ini
disalurkan ke belakang ke vena pulmonali. Bila tekanan hidrostatik dalam
kapiler paru melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses
transudasi ke dalam ruang interstisial. Bila tekanan ini masih meningkat
lagi, terjadi edema paru-paru akibat perembesan cairan ke dalam
alveoli.
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respon simpatis
kompensatorik. Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat
untuk mempertahankan curah jantung. Terjadi vasokonstriksi perifer
untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi aliran darah dari
organ –organ yang tidak vital seperti ginjal dan kulit demi
mempertahankan perfusi organ –organ vital. Venokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke jantung kanan, sehingga akan
meningkatkan kekuatan kontraksi (sesuai hukum jantung Starling).
Pengurangan aliran darah ginjal dan laju fltrasi glomerulus akan
mengakibatkan pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, dengan
terjadinya retensi natrium dan air oleh ginjal. Hal ini akan lebih
meningkatkan aliran balik vena.
Manifestasi klinis gagal jantung
mencerminkan derajad kerusakan miokardium dan kemampuan serta besarnya
respon kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa ditemukan pada
gagal jantung kiri :
1. Gejala dan tanda : dispneu, oliguria, lemah , lelah pucat, dan berat badan bertambah
2.
Auskultasi : ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat
dilatasi jantung dan ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).
3. EKG : takikardia
4. Radiografi dada : kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke lobus bagian atas.
Gagal
jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat
meningkatnya tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan.
Selain secara tak langsung melalui pembuluh paru tersebut, disfungsi
ventrikel kiri juga berpengaruh langsung terhadap fungsi ventrikel kanan
melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya. Kedua ventrikel mempunyai
satu dinding yang sama ( yaitu septum interventrikularis) yang terletak
dalam perikardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti
berkurangnya cadangan noreprinefrin miokardium selama gagal jantung
dapat merugikan kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan
jelas merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan.
Kongesti vena sistemik akibat gagal jantung kanan bermanifestasi
sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali, dan edema perifer.9
DAFTAR PUSTAKA
1. Aesculapius, M. 2000.Infark miokard Akut. Kapita Selekta Kedokteran. 437-440
2.
Alwi, Idrus,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2006.
3. Anonimus. 2007. Patofisiologi Coronary Artery Disease.
http://www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Fisiologi-Anatomi/Patofisiologi-Coronary-Artery-Disease.html4. Boston, MA. 2006.Environ Health Perspect. bmj, 115:53-57